Sejak kecil, saya sering ‘ditempa’ dengan berbagai macam hal, salah satunya adalah kejadian kecelakaan yang menimpa Bapak saya yang membuat beliau sekarang harus berjalan dengan tongkat.
Namun dari sekian banyak tempaan dalam hidup saya, mungkin sakitnya Ibu adalah hal yang paling berat dalam hidup saya. Kesedihan tersebut terasa bertambah parah, mengingat kabar sakitnya Ibu saya dengar tepat pada tanggal 6 Juli 2023. Tanggal dimana saya tepat menginjak usia 30 tahun.
“Mas, pulang ya. Ibumu nggak kenapa-kenapa. Nggak usah mikir aneh-aneh dijalan,” sebuah kalimat yang disampaikan Bu Lek ke saya via telepon. Sebuah kalimat yang saya tahu hanya sebatas kalimat untuk menenangkan saya.
Ya, saya dan kakak (perempuan) saya memang tinggal di Jabodetabek. Jauh dari kampung halaman yang berada di Magetan, Jawa Timur. Merantau, mencari penghidupan yang lebih baik. Khusus saya dan istri, sebenarnya kami tidak harus tinggal di Jabodetabek, hanya saja saat saya masih lajang dan bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta, saya terlanjur beli rumah di Bogor yang sayang jika tidak ditempati.
Singkat cerita, pada akhirnya saya dan kakak langsung memutuskan untuk pulang ke Magetan. Keesokan harinya, kami tiba di Magetan, kakak dan suaminya langsung menemani ibu ke Solo, melakukan check up lebih jauh tentang kanker yang diderita ibu. Karena memang ibu di rujuk ke RS dr. Moewardi untuk penanganan lebih lanjut.
Sementara saya dan istri bertugas di rumah, karena di rumah ada si mbah (ibunya ibu) yang berusia hampir 100 tahun.
Saat menunggu di rumah, pikiran saya berkecamuk. Namun saya juga tak menanyakan apapun ke kakak saya via telepon, saya tidak ingin mereka terganggu.
Sore harinya, ibu dan kakak sudah sampai rumah, keduanya tampak lunglai. Keluarga besar sudah menunggu di ruang tamu. Kakak saya langsung menarik saya ke kamar, menghindari kerumuman keluarga. “Stadium 3b,” bisiknya ke saya.
Saya menghela nafas panjang, kemudian menjawab, “aku pulang, aku yang nemenin ibu”. Karena saya paham apa yang ada dipikiran kakak saya, dan jawaban itu mungkin yang akan membuatnya sedikit lebih tenang.
Bagaimanapun sebagai seorang istri tentu kakak saya tidak bisa membuat keputusan langsung, harus melalui proses diskusi dengan suaminya. Sementara saya sebagai laki-laki tentu cenderung lebih mudah membuat keputusan untuk pulang, terlebih pekerjaan saya juga fleksibel bisa dikerjakan dimana saja.
Pengobatan di RS dr. Moewardi Solo
Beberapa hari kemudian, kakak sudah harus kembali ke Tangerang. Anaknya harus sekolah, pun juga suaminya harus kembali bekerja. Sebuah pilihan yang tidak mudah tentunya.
Saya kemudian yang menemani ibu untuk ke Solo, ditemani juga sama salah satu bu lek. Setelah mengantri cukup panjang, akhirnya ibu dipanggil ke ruangan dokter. Saya langsung ditanya, “kakaknya mana?”. Lantas saya menjawab kakak saya ada di luar kota.
Dokter kemudian bertanya, “kalau bapakmu?”. Yang kemudian saya jawab jika kondisi bapak kurang memungkinkan untuk ikut kesini.
Dokter lantas bilang, “saya butuh setidaknya dua orang untuk menjadi penanggung jawab, bisa kamu dan kakakmu, bisa kamu dan bapakmu, pokoknya dua orang”.
Sebuah jawaban yang jujur sempat membuat saya kesal waktu itu. Kenapa tidak sedari awal diberitahu prosedurnya bagaimana. Mengingat perjalanan Magetan-Solo itu setidaknya butuh waktu dua jam.
Alhasil, kami harus mengulang proses keesokan harinya, mengajak bapak dengan kondisi keterbatasannya. Karena jelas tidak memungkinkan meminta kakak saya pulang saat itu juga.
Singkat cerita, akhirnya harus diambil penanganan berupa radioterapi. Karena kanker stadium 3B umumnya sudah tidak dapat ditangani dengan cara operasi dan kemoterapi. Saya melihat ibu terlihat sedikit tenang, karena sebelumnya mendengar hal-hal yang sedikit kurang mengenakkan terkait kemoterapi.
Sementara saya, justru risau dengan hal tersebut. Ya sebagai anak zaman now yang mudah mengakses informasi di Google, sedikit banyak saya paham apa yang sedang terjadi.
Dokter kemudian menyarankan kami untuk tinggal sementara di Solo, karena radioterapi akan dilakukan setiap hari kecuali weekend.
Lagi-lagi, kami dihadapkan pada sebuah keputusan berat dan sulit, mengingat saya dan istri masih memiliki dua anak yang saat itu masih balita. Sementara kakak saya juga memiliki anak yang baru menginjak kelas 1 SD, belum lagi suami kakak saya juga harus bekerja.
Ide awalnya, saya dan istri berencana menemani Ibu selama pengobatan di Solo. Kami mengusulkan untuk mengontrak sebuah rumah, mengingat kami masih memiliki dua balita dan juga harus mempertimbangkan kenyamanan mereka. Namun, di sisi lain, Ibu merasa lebih nyaman tinggal di kos bersama para ‘pejuang’ lainnya. Kebingungan pun muncul, karena kami harus mencari solusi terbaik.
Pada akhirnya, diambilah sebuah keputusan untuk kakak dan suami kembali pulang, menemani proses pengobatan di Solo yang kurang lebih berjalan dua bulan. Keputusan yang berat, tapi saya sangat salut dengan kakak ipar saya yang mengorbankan banyak hal demi merawat ibu, termasuk salah satunya rela untuk mengambil cuti tanpa digaji.
Sementara saya dan istri, kembali ke tanggung jawab awal. Merawat bapak dan si mbah yang kondisinya sudah saya ceritakan sebelumnya.
Pasca Pengobatan di RS dr. Moewardi Solo
Setelah menjalani pengobatan kurang lebih dua bulan, akhirnya ibu kembali pulang ke rumah. Waktu itu dokter bilang, “ini udah bersih, dan udah boleh pulang. nanti tinggal kontrol aja sesuai jadwal”.
Saya melihat ibu begitu bahagia dan langsung sujud syukur. Sempat saya tegur, mengingat ini tempat umum. Namun seorang perawat menyolek saya, sembari berkata dengan suara pelan, “nggak papa mas, biarin”.
Sesampainya di rumah, ibu tampak bahagia. Istri saya yang saat itu tidak menjemput langsung diajak ngobrol, yang pada intinya menceritakan bahwa dokter bilang sudah bersih. Istri saya mengangguk sambil tersenyum. Nampaknya dia tidak ingin merusak kebahagiaan ibu saat itu.
Ibu juga langsung menelfon kakak, memberi kabar. Sebagai informasi, kakak memang sekitar dua minggu sebelum pengobatan selesai harus kembali ke Tangerang lagi. Faktor pendidikan anaknya dan pekerjaan suami menjadi alasan tentunya. Bu lek yang pada akhirnya menemani ibu di Solo, sementara saya yang lebih sering PP Magetan-Solo.
Singkat cerita, sekitar satu bulan setelah radioterapi tersebut, semuanya berjalan normal. Bahkan ibu sudah beberapa kali keluar rumah untuk keperluan arisan. Kondisinya sehat dan bahagia.
Memasuki bulan kedua, gejala mulai muncul. Ibu merasakan sakit yang secara istilah medis disebut cancer pain. Yang menjadi problem waktu itu, ibu merasa sakitnya ini tidak ada hubungannya dengan kanker, mengingat dokter bilang sudah ‘bersih’.
Saya pribadi seakan tidak bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Sepemahaman saya, apa yang dimaksud ‘bersih’ oleh dokter adalah gejala yang ditimbulkan, yakni berupa pendarahan. Bukan kankernya.
Semakin berjalannya hari, nyeri yang dirasakan ibu semakin tak tertahan. Bahkan saya sempat menanyakan rasanya seperti apa? Beliau menjawab melebihi sakitnya melahirkan.
Ibu meminta pindah dari rumah sakit A ke rumah sakit B untuk berobat. Boleh dikatakan selama satu bulan saya dan ibu tidak pernah pulang ke rumah, lima hari menginap di rumah sakit A, pulang sehari di rumah, pindah ke rumah sakit B, dan seterusnya.
Pada kondisi ini, saya pribadi melihat kesahatan mental ibu sudah mulai goyah, makanya saya hanya bisa nurutin apa yang beliau inginkan.
Sampai pada akhirnya, saya kembali meminta kakak saya untuk pulang, karena melihat kondisi ibu yang mulai mengkhawatirkan. Dan saat kakak sampai rumah, saya langsung mengajak ngobrol ibu, “Bu, ini biar aku yang ngambil keputusan ya, kita ke RS. dr Soedono aja”.
Di pikiran saya waktu itu, hanya RS. dr Soedono satu-satunya rumah sakit terbesar di Madiun yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Pun itu yang disarankan rumah sakit-rumah sakit kecil yang sebelumnya sudah dikunjungi.
Sampai pada akhirnya, hasil lab dari rumah sakit keluar, dan menyatakan bahwa kanker yang diderita ibu sudah memasuki stadium 4. Tak hanya sebatas itu, kanker tersebut juga menyebar ke area tulang, yang menjadi penyebab rasa nyeri yang dialami ibu selama ini.
“Yang bisa kalian lakukan sekarang hanya satu mas, mbak, perawatan paliatif. Perawatan ini tidak akan mengobati apapun. Ini hanya akan membuat ibu kalian tidak merasa kesakitan. Kasihan beliau kalau harus meninggal dalam keadaan kesakitan,” tutur dokter kepada saya dan kakak.
Kakak keluar ruangan dokter dengan sedikit lunglai, saya mencoba menenangkan, dia memeluk saya sembari menahan tangis. Saya cuma berbisik ke kakak, “udah, kasihan ibu, dia ngelihatin”.
Tapi saya rasa ibu tahu apa yang terjadi saat itu, tidak mungkin anaknya bereaksi seperti itu setelah ketemu dokter tanpa ada sesuatu.
Berpulang ke Pangkuan-Nya
Pada suatu pagi, di awal Januari 2024, saya dibangunkan oleh istri. Keluarga minta saya panggil dokter yang selama beberapa minggu terakhir jadi dokter pribadi ibu. Kondisi ibu masih sadar, masih mau disuapin, meskipun mulai sulit untuk menelan.
Dokter kemudian meminta saya membeli perban dan obat luka, karena ada luka di area punggung karena hampir dua minggu ibu bedrest. Saya langsung menuju apotek.
Sepulang dari apotek, saya melihat dari pintu kamar, kondisi ibu mulai melemah. Bu lek yang selama ini menemani ibu berobat sedang menjaga ibu di kamar. Ada juga bapak di kamar tersebut.
Sementara kakak saya ada diluar kamar, sedang membaca Surah Yasin sembari sesegukan.
Saya kemudian masuk ke kamar, duduk tepat di sebelah kaki ibu. Saya pegang kaki beliau sudah sangat dingin.
Bapak dan bu lek bergantian membingbing ibu melafalkan kalimat syahadat, ibu merespon dengan suara yang lirih. Tak lama berselang, ibu nampak seperti melihat ke arah saya, kemudian menutup mata.
Kami bertiga saling menoleh, sedikit melongo. Karena tidak ada suara nafas terakhir yang umumnya terjadi saat orang meninggal. Bapak bahkan nyeletuk, “kok penak men?”. Dalam artian proses meninggalnya kok sangat mudah.
Saya lantas keluar kamar, saya mencari kakak saya. Tangis saya pecah justru setelahnya. Saya menangis merangkul kakak saya. Memori masa kecil saya bersama ibu seketika muncul dikepala.
Namun tak berselang lama, saya tersadar. Saya harus bangkit dan mulai mengurus jenazah ibu. Sedari awal mendengar ibu sakit, saya memang sudah mempersiapkan mental untuk kemungkinan terburuk. Pasalnya saya anak laki-laki di keluarga ini, saya tidak boleh tumbang.
Meskipun harus diakui, perasaan saya waktu itu tetap campur aduk. Namun saya tidak ingin berlarut-larut, mengingat ibu sendiri sempat berpesan “anak-anaknya nggak boleh bersedih”.
Menantu-menantu Hebat
Selama masa-masa sulit tersebut, hal yang paling membuat saya merasa beruntung adalah karena dikelilingi orang-orang yang luar biasa, yakni suami kakak saya dan istri saya. Mereka sangat banyak berkorban selama ibu sakit.
Kakak ipar saya harus cuti tanpa digaji untuk merawat ibu, itu tentu bukan perkara yang mudah mengingat anaknya perlu biaya sekolah. Kakak saya sendiri memiliki dua orang putra, anak kedua kala itu baru menginjak SD, dan anak pertamanya yang jika tidak salah ingat waktu itu masih SMP.
Saya pribadi juga tidak membayangkan jika istri saya bukanlah Venicka Arlia Putriana. Yang mana dia harus merawat mbah menggantikan peran ibu. Bahkan sampai ibu berpulang, ia juga yang akhirnya menggantikan peran ibu merawat si mbah selama kurang lebih 1 tahun, sebelum akhirnya si mbah ikut pak Lek ke Sampit, Kalimantan Tengah (dan akhirnya si Mbah juga berpulang di Sampit sekitar dua bulan setelah pindah kesana).
Merawat mbah ditambah mengasuh dua orang bocil kecilnya sendirian tentu bukan perkara mudah, mengingat saya lebih sering mondar-mandir rumah sakit menemani ibu daripada di rumah.
Dan saya rasa, ibu bangga disana melihat dua anak menantunya ini.
Keluarga Mastah SEO, Kalian Luar Biasa
Rasa terima kasih saya juga saya sampaikan ke keluarga besar Mastah SEO. Jujur, pada saat itu banyak dari keluarga yang seperti orang asing saat masa sulit tersebut. Dan justru keluarga saya di Mastah SEO yang tidak ada ikatan darah dengan saya yang banyak membantu saya pada masa sulit tersebut.
Ivan dan Charis yang jauh-jauh dari Jogja untuk nganter peralatan medis yang dibutuhkan untuk pengobatan paliatif, yang kebetulan stok di Madiun dan sekitarnya sedang kosong.
Kemudian nama-nama yang saya nggak tahu siapa aja, yang tiba-tiba kirim uang ke rekening saya. Mereka patungan untuk bantu biaya pengobatan ibu.
Saat saya sampaikan soal ini, ibu terlihat sangat bahagia karena merasa diperhatikan, karena memang ibu mengenal beberapa nama dari temen-temen di Mastah SEO, terutama mereka-mereka yang dulunya sering menginap di rumah orang tua saya di Magetan. Singkat cerita memang rumah orang tua di Magetan dulunya memang jadi “penampungan” buat mereka yang sedang belajar SEO ke saya.
Bagi saya, ini bukan soal nominal. Tapi ada titik dimana saya merasa mereka ingat ke saya di segala kondisi, bukan hanya ingat saya ketika butuh saya.